Halaman

Jumat, 26 Oktober 2012

Aulia Rafikasari (Ucha)


Awalnya kukira dia adalah seorang yang angkuh, sombong dan apalah. Yang jelas kesan pertama kali aku bertemu dia di bangku kelas 8 aku sudah nggak suka sama dia. Dan setelah ku tau, dia duduk di bangku depanku aku sudah mulai merasa nggak ngeh sama dia. Dia duduk sama pipin sahabatnya. Orang yang sudah aku kenal baik sejak kelas 7 di Lin. Di situlah aku mulai membeda-bedakannya dengan pipin orang yang sangat baik dan ramah. Beda sama dia yang pada saat itu hanya diam, diam dan diam tanpa ada seulas senyum yang tersungging dari bibirnya. Memang sih, dia cantik dan pintar. Tapi entah kenapa kesan pertama aku sudah nggak suka sama dia.
            Tapi aku tak menjauhi dia. Aku mencoba untuk mendekati dia karena aku memang penasaran sama sifatnya. Karena aku yakin dibalik sifat awalnya yang seperti itu, pasti tersimpan sifat yang asyik untuk diajak berteman. Usahaku berhasil. Setelah beberapa bulan kita sekelas, aku dan dia sudah mulai ngobrol tentang beberapa hal. Awalnya aku hanya meminjam sebuah stippo lalu berlanjut dengan aku tanya nama FB-nya dan aku jadikan dia sebagai saudara perempuanku di aplikasi FB-ku. Dan akhirnya kita bisa ngobrol sampai ke banyak hal.
            Setelah kelas kita dipindah di kelas atas, disitulah awal dari kebersamaan kita. Aku sudah tidak duduk dengan vitta temanku kelas 7 dulu. Aku duduk dengan jean, maya dan tyan yang terakhir. Aku memang tidak pernah cocok duduk sama teman selain teman SD-ku. Biasanya jika ada tugas kelompok, aku selalu berkelompok dengan sherly dan putri. Tapi karena ada sedikit konflik diantara kami bertiga, akhirnya aku berkelompok dengan dia, pipin dan tyan. Kami selalu berempat. Kemana-mana kami selalu berempat. Tapi kebersamaan kami tak sekompak saat di kelas 9.
            Semester II telah kujalani dan akan berakhir. Sebentar lagi aku akan naik ke kelas 9, tapi aku sedih karena tidak bisa duduk di belakang dia dan pipin lagi. Tapi meskipun begitu, kita tetap kompak dan selalu bersama-sama. Pangkalan kami saat istirahat selalu di teras depan kelas kami, kelas 9a. Tapi kami tidak hanya berempat lagi. Kita sekarang bertujuh. Dengan muti, jean dan achis. Di situlah kami bermain-main dan bersenda gurau. Dan karena tempat itulah aku menemukan seseorang yang kucinta.  
            Dia adalah orang kedua yang kuberi tau aku mencintai seseorang setelah tyan. Di Lab. Bio waktu itu aku curhat ke dia tentang seseorang yang kucinta. Awalnya aku hanya tanya tentang sesuatu yang berkaitan tentang rasta, orang yang aku cinta. Tapi sepertinya dia sudah mengerti kemana arah pembicaraanku setelah ini. Jadi dia bisa menebak dengan mudahnya jika aku mencintai rasta.
            Kelas 9 adalah akhir dari sebuah perjuangan untuk mencapai sebuah kelulusan. Di sekolahku, ada tradisi pentas seni untuk kelas 9. Sebenarnya sih, kami sangat antusias mempersiapkan ujian praktek seni budaya dan bahasa jawa ini. Namun, mengingat sulitnya persiapan dan pengolahan dana yang dibutuhkan. Karena dana yang dibutuhkan sangat besar, kelasku membutuhkan seorang ketua yang mampu mengayomi dan mengoordinir anggotanya. Dan pada saat kelas 9a mengadakan buka bersama di rumah firda, sekaligus membicarakan tentang pensi dan memilih pengurusnya. Dia terpilih menjadi ketua karena memang kemampuannya dalam memimpin tak dipertanyakan lagi. Dan memang semua anak kelas 9a saat itu sayang semua sama dia. Termasuk aku. Karena kejujurannya, kebaikannya dan kepolosannya. Selain itu dia juga memiliki bentuk fisik yang sangat sempurna.
            Pernah aku bertanya-tanya, kenapa ada makhluk Tuhan yang sesempurna dia. Sudah cantik, perangainya juga baik, anak orang kaya, pintar pula, dan banyak juga yang menyayanginya. Di sini pula lah aku kembali penasaran dengan dia. Aku amati dia baik-baik untuk melihat kekurangannya. Tapi berkali-kali mencoba aku selalu gagal. Dan akhirnya aku hampir menyerah meneliti sifat buruknya itu.
            Namun tanpa sengaja, karena seringnya kita bertemu untuk latian pensi, aku menemukan sifat yang aku tidak suka dari dia. Dia agak keras kepala untuk mempertahankan argumennya. Walaupun itu salah apa benar. Dia tetap menganggap argumennya itu benar sebelum orang yang menyalahkan argumennya itu menjelaskan secara detail bahwa argumennya itu salah. Dia memang orang yang kritis, tapi karena terlalu kritis jadi kesannya agak egois. Tapi aku tidak membencinya. Aku malah tambah senang berteman dengan dia karena aku dapat membaca segala wataknya. Next, dia itu pelupa. Dia selalu lupa akan PR-nya, barangnya, mungkin sebentar lagi dia lupa hidungnya ada dimana. Satu lagi, dia juga agak plinplan setelah aku teliti. Kemarin dia bilang A besoknya bilang B. Jadi aku bingung mesti nurut yang mana. Tapi tak apalah. Itu hanya sebagian kecil dari sifat buruknya. Lainnya itu dia baik.
            Dan agaknya, kesan pertamaku tentang dia yang pendiam sepertinya harus dihapus. Karena dia sudah agak gila. Karena terkontaminasi oleh anak-anak 9a. Dia selalu menar-nari nggak jelas. Dandan nggak jelas. Ketawa-ketawa nggak jelas. Sampai anak-anak ingin membawanya ke Menur. Tapi kesimpulannya dia itu gokil.
            Dan satu lagi yang aku suka dari dia. Dia sabar buat mengajari aku yang memang lemot sama matematika dan fisika. Dengan sabar dia menjelaskan tentang ilmu hitung itu kepadaku meskipun dia harus mati overdosis karena mulutnya berbusa. Dan dia juga sabar mengajariku bermain keyboard dengan tangan dua jika aku main di rumahnya.
            Yang aku herankan lagi, kenapa setiap aku main dirumahnya, seperti ada magnet yang tak menghendakiku untuk pulang ke rumah. Aku betah berlama-lama di rumahnya. Karena disana aku bisa berekspresi sesuai kemaunku. Aku bisa bermain keyboard dan gitar sepuasku. Dia juga nggak pernah protes jika aku acak-acak kasur dan kamarnya.
            Next, selain pipin dan ratih sahabatku, dia adalah orang yang selalu menyemangatiku ketika aku sedih dan terpuruk karena cinta. Dia pernah bilang padaku, “mungkin salwa memang cinta pertamanya rasta, tapi sella yang bakalan jadi cinta terakhirnya.” Sungguh, aku hampir menangis mendengar kalimat itu. Karena kalimat itu, aku jadi bersemangat lagi untuk mencintai rasta. Walaupun aku nggak yakin jika aku yang bakalan jadi cinta terakhrinya.
            Dia juga lah yang mengingatkanku jika aku sudah mulai malas dan ogah-ogahan buat belajar. Atau jika aku tertidur di kelas ketika pelajaran, dia membangunkanku secara perlahan agar aku tidak tertinggal dengan pelajaran. Sungguh, dia sudah seperti kakak bagiku. Aku turuti semua petuah dan nasehatnya. Termasuk nasehatnya agar tidak menyontek. Aku mencoba menurutinya perlahan-lahan walaupun kadang hampir tidak berhasil.
            Kesimpulannya, aku menyayangi dia seperti sayang seorang adik kepada kakak. Karena dia aku bersemangat dan dia adalah orang terkuat yang pernah ada. Karena dia mampu mengatasi masalahnya dengan senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for your visiting :D